Cari Blog Ini

Senin, 13 Februari 2012

MENOLEH KINERJA PERBANKAN SYARIAH

       Segala puji hanya milik Alloh,dzat yang kepada-Nyalah kita kita memberikan segala pujian,dan kepada-Nya kita memohon pertolongan,memohon ampunan,dankepada Allohlah kita memohon perlindungan diri kita dari kejahatan diri kita dan keburukan amal perbuatan kita.Barang siapa diberi petunjuk oleh Alloh mak tidak ada seorangpun yang bisa menyesatkanya dan barang siapa di sesatkan oleh Alloh maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk.Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Alloh dan sya bersaksi bahwa Muhammad itu Nabi dan Utusan Alloh.Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabiyuloh Muhammmad Saw.kepada Keluarganya,Para shohabatnya dan kaum Muslimin yang berpegang kepada sunnah-sunnahnya hingga yaumil akhir nanti.Amiin
  Perbankan merupakan suatu institusi yang bisa dikatakan sebuah kebutuhan mutlak bagi masyarakat umum di tengah sulitnya kondisi perekonomian saat ini.Bagi masyarakat umum atau mungkin orang awam berinteraksi dengan perbankan merupakan aktifitas yang biasa bahkan bisa dikatakan keharusan karena dengan berinteraksi atau bertransaksi dengan institusi perbankan dirasakan banyak kemudahan bagi sebagian besar orang.hal ini karena karena perbankan memberikan kemudahan dengan memberikan fasilitass pinjaman dan kredit.Berbeda halnya ketika kita menoleh sebagian besar orang yang lain khususnya umat islam yang benar-benar menginginkan keberkahan dari Alloh dalam setiap aktifitas mereka.Mereka akan sangat selektif dalam memilih dalam melakukan transaksaksi atau ketika menginfetasikan harta mereka.Karena mereka mengetahui dan meyakini bahwa salah dalam mengambil langkah maka mereka akan terjebak kedalam situasi yang sangat buruk yaitu terjebak dalam riba yang pastinya akan membawa kesengsaraan di dunia dan di akhirat(na'udzubillahi min dzalik).Di abad belakangan ini keresahan dan kegundahan umat islam mulai terobati dengan dicetuskannya perbankan syariah yang pada konsep awal kehadirannya bertujuan untuk memberikan solusi kepada umat atas permasalahan keuangan dan kesulitan ekonomi.Karena dengan adanya perbankan yang berbasis syariah ini Umat Islam bisa bertransaksi dengan nyaman tanpa harus was-was dengan ancaman dan gangguan Preman yang bernama RIBA. Namun sayangnya harapan dan cita-cita umat untuk memiliki perbankan yang bersih dan amanah perlahan pupus.Hal ini dikarenakan perbankan syariah yang diagul-agulkan menjadi solusi umat dengan konsep syariah pada awal pendiriannya ternyata tidak berjalan pada rel yang telah ditentukan.Lebih ironisnya lagi ternyata nama syariah yang selalu mereka sertakan dalam setiap pemberian nama hanya dijadi topeng untuk memudahkan langkah meraup apa yang mereka sebut sebagai "keuntungan".Hal ini kita katakan demikian karena Oknum-oknum perbankan syariah tersebut dalam melaksanakan kegiatan ekonomi tidak selalu berpijak pada prinsip-prinsip syariah.Mereka lebih mengedepankan pada bagaimana mendapatkan keuuntungan daripada bagaimana dipelolehnya kemaslahatan dan keberkahan dalam bertransaksi dengan nasabah.Kita tidak mengetahui dengan pasti apa motif mereka berbuat semacam ini.
    Sebagai contoh kasus yang sering terjadi di perbankan syariah adalah ketika nasabah bertransaksi dengan aqod murobahah dan musyarokah.
  •    CONTOH KASUS MUROBAHAH(jual beli yang menguntungkan):
Biasanya ketika seorang calon nasabah datang ke sebuah lembaga keuangan syariah dengan niatan ingin membeli suatu barang sementara Ia tidak memiliki cukup uang untuk membelinya.Orang tersebut menyampaikan niatannya kepada pihak bank atau BMT.Pihak bank kemudian bertanya kepada calon nasabah tadi berapa harga barang yang ingin ia beli.Setelah dijawab kemudian pihak perbankan menghitung-hitung berapa kentungan yang akan diambil dan selanjutnya disampaikan kepada calon nasabah tersebut.Calon nasabah di beri tahu bahwa seolah - olah barang yang ia ingingkan telah dibeli pihak bank/BMT kemudian pihak Bank?BMT menjualyan kembali kepadanya dengan diatanbah keuntungan degan nilai tertentu,nasabah berkewajban membayar kepada Bank/BMt tersebut secara angsuran atau kredit sesuai dengan keinginan nasabah.setelah kedua pihak sepakat dengan harga dan jangka waktu Pembayaran kemudian pihak bank/BMT akan memberikan uang kepada nasabah tersebut sebesar harga barang yang ingin Ia beli tadi.capeeeeeeeeeeeeeeek dech!
  •   CONTOH KASUS MUSYAROKAH(Penggabungan permodalan antara pihak bank dengan permodalan nasabah pada usaha yang dimiliki nasabah dengan konsekwensi keuntungan dan kerugian akan dibagi sesuai dengan prosentase modal masing-masing):
kasus pada aqod musyarokah biasanya terjadi yaitu ketika ada calon nasabah(pengusaha) yang berencana untuk mengembangkan usahanya namun terbentur pada permodalan datang kepada Bank/BMT untuk meminta solusi.kemudian pihak bank/BMT kemudian memberikan penjelasan bahwa mereka bisa membantu dengan melakukan transaksi yang disebut MUSYAROKAH yaitu pihak Bank/BMT akan menanamkan Modal pada usahanya kemudian kentungan dan kerugian akan dibagi dengan porsi sesuai prosentase modal masing - masing.Kemudian pihak nasabah harus mengembalikan modal tersebut kepada Bank/BMT dengan sistem Kredit ditambah dengan bagi hasil yang disepakati.kasusnya terjadi ketika pengusaha merugi pihak Bank/BMT tidak mau ikut menanggung kerugian pengusaha tetapdiharuskan untuk mengembalikan sisa modal yang belum dikembalikan meskipun tidak di sertai bagi hasil lagi.Kenapa hal ini kita sebut sebagai kasus? karena kalau memang pengusaha tetap diharuskan mengembalikan sisa modal yang belum disetor meskipun tidak ada tambahan apapun ini jelas jelas menunjukkan bahwa pihak bank/BMT tidak mau menanggung kerugian dan ini berarti bahwa kerugian ditanggung sendiri oleh pihak pengusaha 'Sudah jatuh tertimpa tangga' begitu pepatah mengatakan.DHOLIM GA THUUU? Dholimkan?
    Atau solusi kedua yang ditawarkan kepada calon nasabah dengan permasalahan seperti di atas adalah pihak Bank/BMT akan memberikan pinjaman modal dengan nilai tertentu kepada nasabah dengan membuat aqod murobahah.Dalam aqod tersebut dicantumkan bahwa pihak pertama yaitu Bank/BMT yaitu seolah-olah Bank/BMT membelikan barang kebutuhan dasar pihak kedua yaitu pengusaha dari pihak ketiga(supyliyer misalnya).Pihak bank/BMT akan menjual barang tersebut(pura-puranya)dibeli dari pihak ketiga (suppliyer)dengan harga sejumlah uang yang mereka pinjamkan kepada nasabah tadi kemudian barang tadi(pura-puranya lagi)dijual kepada pihak kedua yaitu pengusaha setelah dinaikan harganya sebagai margin keuntungan yang nantinyan ketika pengusaha menyetorkan angsuran pengembalian modal akan ditambahkan ini ditambahkan sebagai nisbah atau bagi hasil pengusaha kepada pihak bank/BMT.Di boongin ga pengusaha? Kasihan  ya?
   Ikwah fillaah contoh contoh diatas kami sebut sebagai kasus yang sering dilakukan oleh oknum-oknum perbankan yang katanya syariah itu di karenakan nyata-nyata bertentangan dengan syariat kita.Ga percaya mari kita  kaji bersama-sama!
  • PERTAMA MENGENAI MUROBAHAH 

         Pada asalnya pengadaan Bank Islam yang terhindar dari praktek riba dan peminjaman secara riba adalah sesuatu yang baik. Akan tetapi kenyataannya bahwa Bank-bank Islam yang ada di berbagai Negeri tidak memenuhi apa yang dijanjikannya kepada kaum muslimin, bahkan mereka terseret kedalam berbagai muamalah yang rusak dan haram.
Muamalah yang dipraktekkan Bank-bank Islam pada saat ini mayoritasnya adalah apa yang dinamakan (menurut mereka) “Bai’ Al-Murobahah” (jual beli yang menguntungkan). Sebagian Ulama membela bank-bank ini, walaupun terjatuh pada kesalahan-kesalahan, maka tidak ada satupun yang ma’shum (terbebas dari kesalahan) sementara Bank itu ingin meletakkan bangunan Islam secara nyata.Namun yang sebenarnya, Bank-bank tersebut lebih berbahaya dari Bank-bank Konvensional yang mempraktekkan riba secara nyata, karena orang-orang yang masuk ke dalam transaksi bersama dengan Bank-bank riba konvensional, mengetahui dengan yakin bahwa dia bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan orang-orang yang bermuamalah dengan Bank-bank yang disebut sebagai Bank-bank Islam mereka menganggap Taqarrub(mendekatkan diri) kepada Allah dengan bermuamalah bersama Bank-bank tersebut dengan kata lain mereka tidak merasa keliru dengan apa yang mereka perbuat. Sementara mereka ternyata bermuamalah dengan riba dan jual beli yang haram dan rusak, dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka berbuat dengan sebaik-baik perbuatan.
 
       Murobahah atau Jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah bila seseorang (disebut pihak pertama) yang tidak memiliki uang tunai untuk membeli suatu barang maka ia pun datang kepada seorang pedagang atau pihak tertentu (disebut pihak kedua) yang mampu membelikan dan membayarkan untuknya barang tersebut secara tunai dari seorang penjual (disebut pihak ketiga) lalu pihak pertama membayar kepada pihak kedua secara kredit.
Hukumnya:
Kebanyakan ulama di zaman ini berpendapat bahwa jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah boleh dengan ketentuan tidak disertai keharusan dari pihak kedua atas pihak pertama untuk membeli barang tersebut. Apabila ada keharusan maka hal tersebut masuk ke dalam kategori menjual sesuatu yang belum ia miliki dan ini adalah terlarang berdasarkan hadits Hakim bin Hizam secara marfu’ :
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Jangan kamu jual apa yang tidak ada disisimu (padamu)”.
(HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` 5/132/1292)
Maksudnya : Jangan kamu menjual apa yang bukan milikmu, belum kamu pegang atau di luar kemampuanmu.

PENEGASAN

Kalau “Bai’ Al Amanah” (jual beli secara amanah) tidak ada perselisihan diantara para Ulama tentang bolehnya. Dan dinamakan jual beli amanah karena orang yang menjual wajib baginya untuk secara amanah menyebutkan harga kepada pembeli, dan hal tersebut ada tiga macam :
a. Bai’ al-Murobahah. ( jual beli yang memberi keuntungan)
Gambarannya : Saya membeli alat rekam (misalnya) dengan harga 1000, kemudian saya menjualnya kepada orang lain dengan keuntungan 200, maka ini adalah murobahah (keuntungan).
Akan tetapi bukan seperti itu Bai’ al-Murobahah yang praktekkan oleh Bank-bank Islam.
b. Bai’ al-Wadhi’ah. (menurunkan harga)
Gambarannya : Saya membeli suatu barang dengan harga 1000 dan saya menjualnya ketika saya butuh, dengan harga 800.
c. Bai’ at-Tauliyyah (kembali modal).
Gambarannya : Saya membeli satu barang dengan harga 1000 dan kemudian saya menjualnya dengan harga 1000.
 Maka dinamakan amanah karena jual beli tersebut dibangun diatas amanah orang yang berbicara. Maka Bai’ al-Murobahah dengan gambaran diatas tidak ada perselisihan diantara para ulama tentang bolehnya, kecuali sekedar perselisihan yang ringan disisi sebagian Ulama yang menyatakan Karohah (makruh/dibenci). Namun sebenarnya tidak ada sisi untuk menghukuminya makruh.

        kalau memang aqod murobahah dibolehkan oleh sebagian besar ulama lalu mengapa kita tadi menyebutkan bahwa kebanyakan perbankan syariah sekarang bermasalah?hal ini dikarenakan transaksi yang dilakukan oleh perbankan syariah saat ini tidak seperti yang kami sebutkan barusan tetapi mereka itu ber muamalah seperti contoh kasus diatas dan seperti yang akan kami sebutkan berikut ini :
1. Model yang pertama : Seseorang yang butuh untuk membeli, datang kepada sebuah Bank, lalu mengatakan : Saya ingin membeli sebuah mobil Xen.. (misalnya) yang dijual di Dialer si fulan, dengan harga 100 juta, kemudian perwakilan bank tersebut menulis akad jual beli antara dia dengan orang yang hendak membeli, perwakilan Bank ini mengatakan : Saya akan jual kepadamu mobil tersebut dengan harga 110 juta untuk jangka waktu 2 tahun. Maka perwakilan Bank tersebut menjual mobil tersebut sebelum dia memilikinya. Kemudian perwakilan tersebut akan memberikan kepada orang yang ingin membeli itu uang seharga mobil dengan mengatakan : Pergilah dan belilah mobil tersebut. Dan perwakilan tersebut tetap dikantornya, tidak pergi ke pemilik showroom (dealer) mobil.
Hukum model pertama ini :
Tidak diperselisihkan tentang tidak bolehnya model seperti ini,
Dikarenakan :
- hal itu adalah peminjaman yang menghasilkan manfaat (riba),
- dan juga menjual sesuatu yang belum dimiliki sipenjual.
2. Sama modelnya dengan yang pertama, hanya saja model kedua ini ada bentuk tambahan yaitu : Bahwa siperwakilan Bank tersebut menghubungi sipemilik dealer dan mengatakan : Mobil merek tertentu ini telah aku beli dari kamu, dan mereka mengirimkan ke dealer tersebut uang melalui sarana pengiriman modern (on line, mis.), kemudian mereka mengatakan kepada orang yang ingin membeli tadi : Pergilah anda dan ambillah barangnya, kami telah menjualnya kepada anda dengan tambahan 10 juta secara kredit.
Hukum model kedua ini adalah harom, tidak boleh,
Dikarenakan :
- siperwakilan Bank tersebut menjual sesuatu yang belum masuk dalam tanggungan/jaminan dia
- dan dia menjual barang sebelum Qabdl (dipegang /diterima).
3. Model ketiga : Sama dengan sebelumnya, hanya saja siperwakilan Bank tersebut betul-betul pergi dengan membawa uang senilai harga barang yang diinginkan oleh orang yang ingin membelinya. Kemudian perwakilan Bank tersebut membeli barang dari pemilik dealer, dan mengatakan : Berikan barang ini kepada sifulan, kemudian diapun pergi, dan dia telah menetapkan kepada orang yang hendak membeli adanya tambahan harga dan telah ditetapkan akad sebelum orang yang ingin membeli tersebut keluar dari Bank.
Hukum model ketiga ini adalah diharomkan
Dikarenakan : pihak perwakilan Bank tersebut menjual barang yang belum dia miliki, sementara akad dia sebenarnya adalah dia menjual uang dengan uang bersama adanya barang diantara mereka, seakan-seakan orang yang ingin membeli itu mengatakan : Pinjamkan kepadaku 100 juta karena saya akan pergi untuk membeli barang A (misalnya). Maka si perwakilan bank itu menjawab : Saya tidak akan meminjamkan untuk kamu, namun saya akan mengambil barang itu dan saya akan jual kepada kamu. Maka seakan-akan dia meminjaminya 100 juta dengan pengembalian 110 juta.(inilah hakekat jual beli uang dengan uang) dan telah disebutkan dari Ibnu ‘Abbas t ucapan beliau : ((penukaran Dirham dengan dirham sementara makanan adalah perantara))
4. Model ke empat : modelnya sama dengan sebelumnya, hanya saja si Perwakilan Bank pergi kepemilik dealer dan mengatakan : kami telah membeli barang ini dari kamu, akan tetapi simpan saja barang ini sebagai barang titipan di sisimu. Kemudian si perwakilan Bank ini pergi kepada orang yang ingin membeli, dan dia katakan : pergilah kamu kepadanya terimalah barang itu, kami telah membelinya.
Hukum model ke-empat ini :
Sebagian ulama’ Ahlus Sunnah membolehkan model ini dikarenakan dia telah menjadikannya sebagai barang titipan.
Yang benar adalah terlarang , karena Nabi saw. melarang untuk menjual barang sampai para pedagang itu membawanya ke tempat mereka, dan Beliau melarang dari sesuatu yang belum dipegang tangan (menerima). Maka apabila si Perwakilan Bank tersebut membeli mobil, dia harus mengeluarkannya ke tempat yang tidak ada lagi kepemilikan dan kekuasaan si penjual tersebut.
5. Model ke-lima : Orang yang ingin membeli datang ke sebuah Bank, dan dia menginginkan suatu barang. Maka pihak Bank berkata : kami akan memenuhinya untukmu. Dan bisa saja keduanya bersepakat atas adanya keuntungan terlebih dahulu, kemudian si perwakilan itu pergi ke dealer dan dia membawa barang tersebut ke lokasi bank, kemudian terjadilah akad jual beli, dalam keadaan bank itu sungguh telah memiliki barang tersebut dan tidak menjualnya kecuali setelah dia memilikinya dan qobdl (dia telah terima), maka bagaimana hukumnya ?
Hukum model ke-lima ini adalah :
Apabila jual beli tersebut dalam bentuk keharusan maka hal itu adalah termasuk jual beli barang yang belum ada pada dia dan jual beli barang yang belum masuk dalam tanggungan dia. Sebagaimana yang telah lalu (yaitu tidak boleh) (karena akad telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum adanya barang,pent).
Adapun apabila tidak terjadi keharusan membeli, maka hukumnya diperselisihkan :
a) Jumhur berpendapat bolehnya , dengan alasan bahwa dalam akad ini tidak ada keharusan untuk menyempurnakan akad atau harus mengganti rugi kalau barangnya rusak, bahkan barang tersebut masih tanggungan bank, dan bank tidak mengetahui apakah orang yang akan datang itu akan membelinya ataukah tidak. sehingga pihak bank siap menanggung resiko dengan membeli barang tersebut, kemudian pihak bank tersebut jika telah datang barang itu, ia memiliki hak untuk menjualnya kepada selain orang yang ingin membeli barang tersebut, sebagaimana pula orang yang ingin membeli barang tadi juga berhak untuk tidak jadi membeli, maka tidak ada dalam model ini menjual barang yang belum diqobdl oleh penjual atau barang yang yang tidak dimilikinya, maka hukumnya boleh.

Lalu bagaimana pendapat para ulama mengenai hal tersebut?mari kita simak pendapat mereka!

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pada tanggal 16/6/1402 H bertepatan 10/4/1982 ditanya dengan nash berikut :
“Apabila seorang nasabah Bank Islamy berhasrat untuk membeli barang seharga 1.000 Riyal Saudi lalu ia memperlihatkan dan mensifatkannya (barang tersebut) kepadanya (bank tersebut,-pent.) dan berjanji untuk membelinya darinya secara keuntungan dengan kredit selama satu tahun dengan keuntungan sekadar 100 Riyal Saudi sehingga menjadilah total harganya 1.100 Riyal Saudi. Hal tersebut setelah Bank membelinya (barang tersebut) dari pemiliknya tanpa ada keharusan pada nasabah untuk menunaikan janjinya tersebut maupun tertulis. Bagaimana pendapat anda tentang mu’amalah ini ?”
Maka beliau menjawab : “Kalau kenyataannya seperti yang disebut dalam pertanyaan maka tidak haraj (dosa, ganjalan) dalam mu’amalah tersebut apabila barang telah tetap dalam kepemilikan Bank Islamy dan ia telah mengambilnya dari kepemilikan penjual (hal ini,-pent) berdasarkan dalil-dalil syari’at. Mudah-mudahan Allah memberi Taufiq kepada semuanya”. (Dari kitab Bai’ul Murabah karya Al-Asyqor hal. 52 melalui perantara Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah)
Dan Syaikh Sholih Al-Fauzan ditanya dengan pertanyaan berikut :
“Seseorang datang kepadaku dan ia berkata saya butuh sejumlah uang dan ia meminta kepadaku agar saya pergi bersamanya kesuatu tempat supaya saya membelikan untuknya mobil kemudian ia akan menjualnya dan mengambil harganya dengan (ketentuan) ia akan melunasinya kepadaku dengan taqsith (cicilan) bulanan. Saya tidak punya tempat penjualan mobil tapi siapa yang datang kepadaku menginginkan uang untuk ia pakai nikah atau membangun rumah maka saya pun pergi bersamanya  ke suatu tempat penjualan mobil dan saya belikan untuknya mobil dengan harga 40 ribu Riyal –misalnya- dan ia menjualnya dengan (harga) 38 ribu Riyal dan saya mencatat (kewajiban) atasnya senilai 55 ribu riyal atau 60 ribu riyal dengan (ketentuan) ia membayarnya dalam bentuk taqsith bulanan ?”.
Maka beliau menjawab : “Hukum pada seperti mu’amalah ini adalah apabila tidak terdapat dari engkau akad bersamanya sebelum pembelian mobil bahkan terdapat janji (saja) -misalnya- atau terdapat saling paham dan belum ada akad kemudian engkau pergi dan membeli mobil lalu engkau jual kepadanya setelah engkau beli dan engkau pegang maka tidak haraj (dosa, ganjalan) pada hal itu adapun kalau penjualanmu kepadanya sudah terjadi sebelum engkau membeli mobil lalu engkau pergi dan membeli mobil itu maka ini tidaklah boleh berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alahi wa sallam kepada Hakim bin Hizam “Jangan kamu jual apa yang tidak ada disisimu (padamu)”…….” (Al-Muntaqa: 4/136/no. 140)
Dan dalam keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy no. 40, 41 point pertama -sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam 4/377 (cet. Kelima)- disebutkan bahwa: “Sesungguhnya jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian apabila terjadi pada barang setelah masuk kedalam kekuasaan orang yang dimintai (pihak kedua,-pent.) dan setelah terdapat kepemilikan yang diinginkan secara syari’at maka ia adalah jual beli yang boleh sepanjang terbebankan atas orang yang dimintai (pihak kedua) tanggung jawab kerusakan sebelum penyerahan dan rentetan pengembalian karena aib yang tersembunyi dan semisalnya dari hal-hal yang mengharuskan pengembalian setelah penyerahan dan telah terpenuhi syarat-syarat jual beli dan telah tiada penghalang-penghalangnya”.
Di pihak lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berpendapat tentang haramnya jual beli keuntungan bagi peminta transaksi. Dalam kitab Asy-Syarh Al-Mumti’ 8/224, beliau menyatakan : “Dan dari masalah-masalah (baca : bentuk-bentuk) Al-‘Inah atau dari hilah (tipu daya) untuk riba adalah apa yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini, (yaitu) tatkala ia butuh mobil kemudian ia pergi kepada seorang pedagang dan berkata saya butuh mobil begini di tempat penjualan mobil begini maka pergilah si pedagang lalu membeli mobil dari tempat penjualan mobil itu dengan suatu harga kemudian ia menjualnya dengan yang lebih banyak dari harganya kepada orang yang butuh mobil sampai ke suatu waktu (secara kredit,-pent.) maka ini adalah hilah yang sangat jelas untuk melakukan riba…”. Dan semisal dengan itu keterangan beliau dalam ketika menjawab pertanyaan no. 501 dalam silsilah Liqo`ul Maftuh.

      Dari uraian di atas maka bisa kita lihat bahwa Dari kalangan ulama’ sekarang yang memperbolehkan adalah :
Al Imam Ibnu Baz, Syaikh Al Fauzan , Al Lajnah Ad Daaimah, dan kebanyakan dari para ulama’. Bahkan sebagian mereka berkata tidak ada masalah dalam hal bolehnya.
Sementara Asy Syaikh Al Albani dan Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengharomkan model ini. Dan diketahui hal tersebut merupakan pendapat Asy Syaikh Al Albani karena beliau mengarahkan kepada pembahasan Abdurrohman Abdul Kholiq khususnya dalam masalah ini dia menguatkan tentang haromnya model tersebut dan Syaikh Al Albani tidak memberikan komentar atasnya, dan kesimpulan pembahasan Ibnu Abdil Kholiq adalah bahwa hal itu merupakan hilah (tipu muslihat) dari pinjaman yang menghasilkan manfaat
 
Tarjih Dan Kesimpulan:

Sebenarnya penamaan masalah ini dengan nama jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah penamaan yang baru muncul pada abad belakangan ini, namun hakikatnya sudah terbahas di kalangan para Imam fiqih terdahulu. Karena itu sebahagian penulis dalam masalah ini menukil bolehnya jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian sebagai pendapat dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Karena itu pembolehan jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah yang paling kuat dalam masalah ini tapi dengan beberapa ketentuan yang bisa disimpulkan berdasarkan pembahasan diatas; yaitu :
1.    Tidak ada keharusan bagi pihak pertama kepada pihak kedua untuk membeli barang tersebut darinya (pihak kedua).
2.    Tanggung jawab rusaknya barang atau mengembalikannya bila ada kekurangan atau cacat ditanggung oleh pihak kedua.
3.    Akad transaksi bersama pihak pertama bila barang telah dimiliki dan dipegang oleh pihak kedua.
Baca : Taudhihul Ahkam 4/377-378, Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh oleh Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, Buhuts Li Ba’dh An-Nawazil Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashiroh dan Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah.

Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=554#more-554
 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum,
saya mau bertanya tentag kasus jual beli seperti ini:
sebut saja A bekerja di PT.x, A membeli barang di PT.x murah karena harga karyawan. kemudian si A membeli barang tersebut dengan harga 100. sesampai dirumah si B melihat peluang bisnis dari A. kemudian B menawarkan barang ke C barang si A dengan harga 180. transaksi berhasil si B membawa barang ke C. sesampai rumah si B memberi ke A 130, artinya B beli barang ke A 130 dengan keuntungan 50 dari C. kemudian permintaan C meningkat, si C meminta barang ke B lalu B menanyakan ada tidak ke A, jika Ada, B melakukan perjanjian ke C. lalu A membeli barang di PT.x dan dibawa pulang. kemudian B membawa barang ke C dengan harga yang dijanjikan. pertanyaaan saya, halal kah jualbeli tersebut