Cari Blog Ini

Rabu, 22 Februari 2012


Sejarah Berdirinya Bank Syariah
Di Indonesia
   Segala puji hanya milik Alloh,dzat yang kepada-Nyalah kita kita memberika segala pujian,dan kepada-Nya kita memohon pertolongan,memohon ampunan,dankepada Allohlah kita memohon perlindungan diri kita dari kejahatan diri kita dan keburukan amal perbuatan kita.Barang siapa diberi petunjuk oleh Alloh mak tidak ada seorangpun yang bisa menyesatkanya dan barang siapa di sesatkan oleh Alloh maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk.Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Alloh dan sya bersaksi bahwa Muhammad itu Nabi dan Utusan Alloh.Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabiyuloh Muhammmad Saw.kepada Keluarganya,Para shohabatnya dan kaum Muslimin yang berpegang kepada sunnah-sunnahnya hingga yaumil akhir nanti.Amin
   Ikwah fiidiin melanjutkan pembahasan kita mengenai bank syariah tuntunya tidak lepas pada alasan kenapa bank-bank berlabel Islam ini didirikan juga atas dasar apa mereka berpijak sampai sampai ada bank-bank yang berlabel syariah.berbincang hal ini mari kita menengok sejenak sejarah berdirinya bank syariah.
  
SEJARAH BERDIRINYA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
A. Latar Belakang
Salah satu kegiatan usaha yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya di dunia ekonomi dewasa ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan. Secara umum perbankan adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu penghimpun dana, penyediaan dana, dan memberikan jasa bagi kelancaran lalu lintas dan peredaran uang.Akan tetapi perbankan yang banyak kita kenal sekarang adalah perbankan konvensional, yang mana dalam operasinya menggunakan sistem bunga atau riba. Oleh itu, perlulah dikenalkan perbankan yang operasinya yang sesuai Syariah, karena kebanyakan masyarakat Indonesia beragama Islam, yang mana riba diharamkan di dalam Islam.
Di dalam sejarah perekonomian umat Islam, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai Syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, miminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW.Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern, yaitu: menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah SAW.
B. Rumusan Masalah
Dengan uraian latar belakang di atas, maka kita akan  mencoba membahas beberapa masalah.Diantaranya:
Ø Apa pengertian Bank Syariah?
Ø Apa dasar pemikiran terbentuknya Bank Syariah?
Ø Bagaimana berdirinya Perbankan Syariah di Indonesia?
Ø Apa tujuan Bank Syariah?
 
Pembahasan masalah

A. Pengertian Bank Syariah
kata bank dari kata banque dalam bahasa Prancis dan banco dalam bahasa Italia, yang berarti peti, lemari atau bangku. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya. Dalam Alquran, istilah bank tidak disebutkan secara eksplisit. Tetapi jika yang dimaksud adalah sesuatu yang, memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebutkan dengan jelas, seperti zakat, sedaqah, rampasan perang, jual beli, utang piutang, perdagangan, harta dan sebagainya, yang memiliki peran tertentu dalam kegiatan ekonomi.
Pada umumnya yang dimaksud dengan Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengeporasiannya berdasarkan dengan prinsip-prinsip Syariah.
Berdasarkan rumusan tersebut, Bank Syariah berarti bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalat secara Syariah, yakni mengacu kepada Alquran dan Al-Hadis. Sedangkan pengertian “Muamalah adalah aturan-aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitan dalam pemutaran harta”Muamalah ini meliputi bidang kegiatan jual beli, rohan, hawalah, syirkah, ijarah dan sebagainya.
Didalam operasionalnya Bank Syariah harus mengikuti atau berpedoman kepada praktek-praktek usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama atau cendikiawan Muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Alqur'an dan Hadits.

B. Dasar Pemikiran Terbentuknya Bank Syariah
Dasar pemikiran terbentuknya Bank Syariah bersumber dari adanya larangan riba di dalam Alqur'an dan Al-Hadits sebagai berikut:

Dasar Al-Qur'an

Orang-orang yang memakan riba itu tidak akan berdiri melainkan sebagaimana berdirinya orang yang dirasuk setan dengan terhuyung-huyung karena sentuhannya. Yang demikian itu karena mereka mengatakan: "Perdagangan itu sama saja dengan riba". Padahal Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, barangsiapa telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya lalu ia berhenti (dari memakan riba), maka baginyalah apa yang telah lalu dan mengulangi lagi (memakan riba) maka itu ahli neraka mereka akan kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah: 275)

Dan (karena) mereka memakan riba, padahal telah dilarang dan (karena) mereka memakan harta manusia dengan (cara) yang tidak betul; dan kami telah sediakan bagi orang-orang kafir dari antara mereka itu siksaan yang pedih. (QS Al-Nina': 161)

Dasar Al-Hadits

Dari Abu Sa'd r.a., diceritakan: Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah Saw. membawa kurma barni. Lalu Rasulullah Saw. bertanya kepadanya, "Kurma dari mana ini?" Jawab Bilal, "Kurma kita rendah mutunya karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi Saw". Maka bersabda Rasulullah SAW. "Inilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmanya (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus." (HR. Muslim)

Dari Abu Said Al-Khudri r.a., katanya Rasullullah Saw., bersabda: "Tidak boleh jual beli emas dengan emas, dan perak dengan perak kecuali sama berat."(HR. Muslim)

Dari Jabir r.a., dikatakan: Rasulullah Saw. mengutuk pemakan riba, yang menyuruh memakan riba, juru tulis pembuat akte riba dan saksi-saksinya. Menurut beliau: 'Mereka itu sama saja (do­sanya)'.(HR. Muslim)


C. Berdirinya Perbankan Syariah di Indonesia

Umat Islam Indonesia telah lama mendambakan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan syariat. K.H. Mas Mansur, ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pereode 1937-1944 telah menguraikan pendapatnya tentang penggunaan jasa Bank Konvensional sebagai hal yang terpaksa dilakukan karena umat Islam belum mempunyai sendiri bank yang bebas riba.Kemudian disusul dengan ide untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia yang sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an. Hal ini dibicarakan pada seminar nasional Hubungan Indonesia-Timur Tengah pada 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun, ada beberapa alasan yang menghambat terealisasinya ide ini:
1. Operasi Bank Syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, dan karena itu, tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan yang berlaku, yakni UU No 14/1967.
2. Konsep Bank Syariah dari segi, politis berkonotasi ldeologis, merupakan bagian dari atau berkaitan dengan konsep negara Islam, dan karena itu tidak dikehendaki pemerintah.
3. Masih dipertanyakan, siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu, sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih dicegah, antara lain pembatasan bank asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia.
Untuk memobilisasi dana pembangunan, pemerintah pada tahun 1988 membuka peluang yang seluas-luasnya untuk bisnis perbankan dengan mengeluarkan PAKTO (Paket Kebijaksanaan Pemerintah bulan Oktober) pada tanggal 27 Oktober yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain yang telah ada.Dengan ini dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah di Indonesia, yang pertama kali memperoleh izin usaha adalah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Berkah Amal Sejahtera dan BPRS Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991, serta BPRS Amanah Rabaniah pada tanggal 24 Oktober 1991 yang ketiganya beroperasi di Bandung, dan BPRS Hareukat pada tanggal 10 November 1991 di Aceh, yang kemudian mendorong didirikannya Bank Umum Syariah pertama. di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 Mei 1992.
Yang kemudian disusul akhirnya gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi sejak tahun 1988 di saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Para ulama waktu itu berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satu pun perangkat hukum yang dapat menjadi pedoman kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0%. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas (Musyawarah Nasional) tersebut, maka dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia.
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim Perbankan MUI tersebut di atas, akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, pada acara silahturahmi presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi total komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000, Dana tersebut berasal dari presiden dan wakil presiden, sepuluh menteri kabinet pembangunan V, juga Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Puma Bhakti Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai yayasan penopang Bank Syariah. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia (BMI) mulai beroperasi.
Kemudian diikuti dengan kemunculan Undang-Undang (UU) No 7 tahun 1992 tentang Perbankan, di mana perbankan bagi hasil diakomodasi. Dalam UU tersebut, pasal 13 ayat (c) menyatakan bahwa salah satu usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan. bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Menanggapi pasal tersebut, pemerintah pada tanggal 30 Oktober 1992 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 tahun 1992 tentang, bank berdasarkan prinsip bagi hasil dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam lembaran negara Republik Indonesia NO. 119 tahun 1992.
Hal itu secara tegas ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992 yang berbunyi:
1. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diper­kenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
2. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip, bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil."
Dalam menjalankan perannya, Bank Syariah berlandaskan pada UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil yang kemudian dijabarkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang pada pokoknya menetapkan hak-hak, antara lain:


1. Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang dilakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
2. Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip, bagi hasil yang berdasarkan Syariah.
3. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).
4. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, Bank Umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip bagi hasil (konvensional), tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.
Pendirian Bank Muamalat Indonesia ini diikuti oleh perkembangan bank-Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), namun demikian adanya 2 jenis bank tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah. Oleh karena itu, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan-pinjam yang disebut Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Pada tahun 1998 muncul UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan Perbankan Syariah. Dari UU tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem Perbankan Syariah dikembangkan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem Perbankan Syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga.
2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah investor yang harmonis. Sementara dalam Bank Konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur-kreditur.
3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan, membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif, pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memperhati­kan unsur moral.
4. Pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 ini diikuti dengan dikeluar­kannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Perundang‑ undangan tersebut membuka kesempatan untuk pengembangan jaringan perbankan Syariah, antara lain melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh Bank Konvensional. Dengan kata lain, Bank Konvensional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah. Landasan dan kepastian hukum yang kuat bagi para pelaku bisnis serta masyarakat luas ini meliputi:
a. Pengaturan aspek kelembagaan dan kegiatan usaha dan Bank Syariah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat 3 UU No. 10 Tahun 1998. Pasal tersebut menjelaskan bahwa Bank Umum dapat memilih untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional atau berdasarkan prinsip Syariah atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Dalam hal Bank Umum melakukan kegiatan usaha berdasarkan Syariah, maka kegiatan tersebut dilakukan dengan membuka satuan kerja dan kantor cabang khusus yaitu unit usaha syariah dan kantor cabang Syariah. Sedangkan BPR harus memilih kegiatan usaha di antara salah satunya saja. Bank Umum konvensional yang akan membuka kantor cabang syariah wajib melaksanakan:

1) Pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS);
2) Memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang di tempat­kan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN);
3) Menyediakan modal kerja yang disisihkan oleh bank dalam suatu rekening tersendiri atas nama UUS yang dapat digunakan untuk membayar biaya kantor dan izin-izin berkaitan dengan kegiatan operasional maupun non operasional. Kantor Cabang Syariah (KCS).
b. Ketentuan kliring instrumen moneter dan pasar uang antar bank. Di dalam penjelasan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah diamanatkan bahwa untuk mengantisi­pasi perkembangan prinsip Syariah, maka tugas dan fungsi BI untuk mengakomodasi prinsip tersebut. Untuk mengatur kelancaran lintas pembayaran antar bank serta pelaksanaan Pasar Uang antar bank Berdasarkan Prinsip Syariah, transaksi pembayaran dilakukan melalui mekanisme kliring dengan membebankan rekening giro pada BI. Apabila dalam pelaksanaan, saldo bank menjadi kurang dari Giro Wajib Minimum (GMW), maka bank atau kantor cabangnya dikenakan kewajiban membayar. Dalam kegiatan operasional, bank dapat mengalami kelebihan atau kekurangan likuiditas. Bila terjadi kelebihan, maka hal itu dianggap sebagai keuntungan bank. Sedangkan apabila terjadi kekurangan. likuiditas, maka bank memerlukan sarana untuk menutupi kekurangan tersebut. Bagi bank Syariah yang mengalami kekurangan dana dapat menerbitkan sertifikat Investasi Mudharabah antarbank (IMA) yang merupakan sarana pe­nanaman modal bagi Bank Syariah. Untuk menjaga kestabilan moneter, BI menyerap kelebihan likuiditas bank-bank syariah melalui penerbitan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) yang didasari pada prinsip wadiah (titipan)." 

D. Tujuan Bank Syariah
Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia, maka Bank Syariah ini mempunyai tujuan umum sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat, sehingga kian berkurang kesenjangan sosial ekonomi, melalui peningkatan kesempatan kerja.
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan bidang ekonomi keuangan, yang selama ini diketahui masih cukup banyak masyarakat yang enggan berhubungan dengan bank karena masih menganggap bahwa bunga bank itu riba.
3. Mengembangkan lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan prinsip efisiensi dan keadilan, mampu meningkatkan partisipasi masyarakat sehingga menggalakkan usaha-usaha ekonomi rakyat, antara lain memperluas jaringan lembaga perbankan ke daerah-daerah terpencil.


Simpulan
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengeporasiannya berdasarkan dengan prinsip-prinsip Syariah. Dengan berdasarkan Al qur'an dan Hadits.
Sedangkan sejarah berdirinya Bank Syariah di Idonesia adalah setelah dikeluarkannya PAKTO (Paket Kebijaksanaan Pemerintah bulan Oktober) pada tanggal 27 Oktober yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain yang telah ada. Sehingga Para ulama waktu itu berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, sehingga setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut, maka dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Sehingga lahirlah Bank Muamalah sebagai bank umum syariah pertama di Indonesia.

      

Senin, 13 Februari 2012

MENOLEH KINERJA PERBANKAN SYARIAH

       Segala puji hanya milik Alloh,dzat yang kepada-Nyalah kita kita memberikan segala pujian,dan kepada-Nya kita memohon pertolongan,memohon ampunan,dankepada Allohlah kita memohon perlindungan diri kita dari kejahatan diri kita dan keburukan amal perbuatan kita.Barang siapa diberi petunjuk oleh Alloh mak tidak ada seorangpun yang bisa menyesatkanya dan barang siapa di sesatkan oleh Alloh maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk.Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Alloh dan sya bersaksi bahwa Muhammad itu Nabi dan Utusan Alloh.Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabiyuloh Muhammmad Saw.kepada Keluarganya,Para shohabatnya dan kaum Muslimin yang berpegang kepada sunnah-sunnahnya hingga yaumil akhir nanti.Amiin
  Perbankan merupakan suatu institusi yang bisa dikatakan sebuah kebutuhan mutlak bagi masyarakat umum di tengah sulitnya kondisi perekonomian saat ini.Bagi masyarakat umum atau mungkin orang awam berinteraksi dengan perbankan merupakan aktifitas yang biasa bahkan bisa dikatakan keharusan karena dengan berinteraksi atau bertransaksi dengan institusi perbankan dirasakan banyak kemudahan bagi sebagian besar orang.hal ini karena karena perbankan memberikan kemudahan dengan memberikan fasilitass pinjaman dan kredit.Berbeda halnya ketika kita menoleh sebagian besar orang yang lain khususnya umat islam yang benar-benar menginginkan keberkahan dari Alloh dalam setiap aktifitas mereka.Mereka akan sangat selektif dalam memilih dalam melakukan transaksaksi atau ketika menginfetasikan harta mereka.Karena mereka mengetahui dan meyakini bahwa salah dalam mengambil langkah maka mereka akan terjebak kedalam situasi yang sangat buruk yaitu terjebak dalam riba yang pastinya akan membawa kesengsaraan di dunia dan di akhirat(na'udzubillahi min dzalik).Di abad belakangan ini keresahan dan kegundahan umat islam mulai terobati dengan dicetuskannya perbankan syariah yang pada konsep awal kehadirannya bertujuan untuk memberikan solusi kepada umat atas permasalahan keuangan dan kesulitan ekonomi.Karena dengan adanya perbankan yang berbasis syariah ini Umat Islam bisa bertransaksi dengan nyaman tanpa harus was-was dengan ancaman dan gangguan Preman yang bernama RIBA. Namun sayangnya harapan dan cita-cita umat untuk memiliki perbankan yang bersih dan amanah perlahan pupus.Hal ini dikarenakan perbankan syariah yang diagul-agulkan menjadi solusi umat dengan konsep syariah pada awal pendiriannya ternyata tidak berjalan pada rel yang telah ditentukan.Lebih ironisnya lagi ternyata nama syariah yang selalu mereka sertakan dalam setiap pemberian nama hanya dijadi topeng untuk memudahkan langkah meraup apa yang mereka sebut sebagai "keuntungan".Hal ini kita katakan demikian karena Oknum-oknum perbankan syariah tersebut dalam melaksanakan kegiatan ekonomi tidak selalu berpijak pada prinsip-prinsip syariah.Mereka lebih mengedepankan pada bagaimana mendapatkan keuuntungan daripada bagaimana dipelolehnya kemaslahatan dan keberkahan dalam bertransaksi dengan nasabah.Kita tidak mengetahui dengan pasti apa motif mereka berbuat semacam ini.
    Sebagai contoh kasus yang sering terjadi di perbankan syariah adalah ketika nasabah bertransaksi dengan aqod murobahah dan musyarokah.
  •    CONTOH KASUS MUROBAHAH(jual beli yang menguntungkan):
Biasanya ketika seorang calon nasabah datang ke sebuah lembaga keuangan syariah dengan niatan ingin membeli suatu barang sementara Ia tidak memiliki cukup uang untuk membelinya.Orang tersebut menyampaikan niatannya kepada pihak bank atau BMT.Pihak bank kemudian bertanya kepada calon nasabah tadi berapa harga barang yang ingin ia beli.Setelah dijawab kemudian pihak perbankan menghitung-hitung berapa kentungan yang akan diambil dan selanjutnya disampaikan kepada calon nasabah tersebut.Calon nasabah di beri tahu bahwa seolah - olah barang yang ia ingingkan telah dibeli pihak bank/BMT kemudian pihak Bank?BMT menjualyan kembali kepadanya dengan diatanbah keuntungan degan nilai tertentu,nasabah berkewajban membayar kepada Bank/BMt tersebut secara angsuran atau kredit sesuai dengan keinginan nasabah.setelah kedua pihak sepakat dengan harga dan jangka waktu Pembayaran kemudian pihak bank/BMT akan memberikan uang kepada nasabah tersebut sebesar harga barang yang ingin Ia beli tadi.capeeeeeeeeeeeeeeek dech!
  •   CONTOH KASUS MUSYAROKAH(Penggabungan permodalan antara pihak bank dengan permodalan nasabah pada usaha yang dimiliki nasabah dengan konsekwensi keuntungan dan kerugian akan dibagi sesuai dengan prosentase modal masing-masing):
kasus pada aqod musyarokah biasanya terjadi yaitu ketika ada calon nasabah(pengusaha) yang berencana untuk mengembangkan usahanya namun terbentur pada permodalan datang kepada Bank/BMT untuk meminta solusi.kemudian pihak bank/BMT kemudian memberikan penjelasan bahwa mereka bisa membantu dengan melakukan transaksi yang disebut MUSYAROKAH yaitu pihak Bank/BMT akan menanamkan Modal pada usahanya kemudian kentungan dan kerugian akan dibagi dengan porsi sesuai prosentase modal masing - masing.Kemudian pihak nasabah harus mengembalikan modal tersebut kepada Bank/BMT dengan sistem Kredit ditambah dengan bagi hasil yang disepakati.kasusnya terjadi ketika pengusaha merugi pihak Bank/BMT tidak mau ikut menanggung kerugian pengusaha tetapdiharuskan untuk mengembalikan sisa modal yang belum dikembalikan meskipun tidak di sertai bagi hasil lagi.Kenapa hal ini kita sebut sebagai kasus? karena kalau memang pengusaha tetap diharuskan mengembalikan sisa modal yang belum disetor meskipun tidak ada tambahan apapun ini jelas jelas menunjukkan bahwa pihak bank/BMT tidak mau menanggung kerugian dan ini berarti bahwa kerugian ditanggung sendiri oleh pihak pengusaha 'Sudah jatuh tertimpa tangga' begitu pepatah mengatakan.DHOLIM GA THUUU? Dholimkan?
    Atau solusi kedua yang ditawarkan kepada calon nasabah dengan permasalahan seperti di atas adalah pihak Bank/BMT akan memberikan pinjaman modal dengan nilai tertentu kepada nasabah dengan membuat aqod murobahah.Dalam aqod tersebut dicantumkan bahwa pihak pertama yaitu Bank/BMT yaitu seolah-olah Bank/BMT membelikan barang kebutuhan dasar pihak kedua yaitu pengusaha dari pihak ketiga(supyliyer misalnya).Pihak bank/BMT akan menjual barang tersebut(pura-puranya)dibeli dari pihak ketiga (suppliyer)dengan harga sejumlah uang yang mereka pinjamkan kepada nasabah tadi kemudian barang tadi(pura-puranya lagi)dijual kepada pihak kedua yaitu pengusaha setelah dinaikan harganya sebagai margin keuntungan yang nantinyan ketika pengusaha menyetorkan angsuran pengembalian modal akan ditambahkan ini ditambahkan sebagai nisbah atau bagi hasil pengusaha kepada pihak bank/BMT.Di boongin ga pengusaha? Kasihan  ya?
   Ikwah fillaah contoh contoh diatas kami sebut sebagai kasus yang sering dilakukan oleh oknum-oknum perbankan yang katanya syariah itu di karenakan nyata-nyata bertentangan dengan syariat kita.Ga percaya mari kita  kaji bersama-sama!
  • PERTAMA MENGENAI MUROBAHAH 

         Pada asalnya pengadaan Bank Islam yang terhindar dari praktek riba dan peminjaman secara riba adalah sesuatu yang baik. Akan tetapi kenyataannya bahwa Bank-bank Islam yang ada di berbagai Negeri tidak memenuhi apa yang dijanjikannya kepada kaum muslimin, bahkan mereka terseret kedalam berbagai muamalah yang rusak dan haram.
Muamalah yang dipraktekkan Bank-bank Islam pada saat ini mayoritasnya adalah apa yang dinamakan (menurut mereka) “Bai’ Al-Murobahah” (jual beli yang menguntungkan). Sebagian Ulama membela bank-bank ini, walaupun terjatuh pada kesalahan-kesalahan, maka tidak ada satupun yang ma’shum (terbebas dari kesalahan) sementara Bank itu ingin meletakkan bangunan Islam secara nyata.Namun yang sebenarnya, Bank-bank tersebut lebih berbahaya dari Bank-bank Konvensional yang mempraktekkan riba secara nyata, karena orang-orang yang masuk ke dalam transaksi bersama dengan Bank-bank riba konvensional, mengetahui dengan yakin bahwa dia bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan orang-orang yang bermuamalah dengan Bank-bank yang disebut sebagai Bank-bank Islam mereka menganggap Taqarrub(mendekatkan diri) kepada Allah dengan bermuamalah bersama Bank-bank tersebut dengan kata lain mereka tidak merasa keliru dengan apa yang mereka perbuat. Sementara mereka ternyata bermuamalah dengan riba dan jual beli yang haram dan rusak, dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka berbuat dengan sebaik-baik perbuatan.
 
       Murobahah atau Jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah bila seseorang (disebut pihak pertama) yang tidak memiliki uang tunai untuk membeli suatu barang maka ia pun datang kepada seorang pedagang atau pihak tertentu (disebut pihak kedua) yang mampu membelikan dan membayarkan untuknya barang tersebut secara tunai dari seorang penjual (disebut pihak ketiga) lalu pihak pertama membayar kepada pihak kedua secara kredit.
Hukumnya:
Kebanyakan ulama di zaman ini berpendapat bahwa jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah boleh dengan ketentuan tidak disertai keharusan dari pihak kedua atas pihak pertama untuk membeli barang tersebut. Apabila ada keharusan maka hal tersebut masuk ke dalam kategori menjual sesuatu yang belum ia miliki dan ini adalah terlarang berdasarkan hadits Hakim bin Hizam secara marfu’ :
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Jangan kamu jual apa yang tidak ada disisimu (padamu)”.
(HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` 5/132/1292)
Maksudnya : Jangan kamu menjual apa yang bukan milikmu, belum kamu pegang atau di luar kemampuanmu.

PENEGASAN

Kalau “Bai’ Al Amanah” (jual beli secara amanah) tidak ada perselisihan diantara para Ulama tentang bolehnya. Dan dinamakan jual beli amanah karena orang yang menjual wajib baginya untuk secara amanah menyebutkan harga kepada pembeli, dan hal tersebut ada tiga macam :
a. Bai’ al-Murobahah. ( jual beli yang memberi keuntungan)
Gambarannya : Saya membeli alat rekam (misalnya) dengan harga 1000, kemudian saya menjualnya kepada orang lain dengan keuntungan 200, maka ini adalah murobahah (keuntungan).
Akan tetapi bukan seperti itu Bai’ al-Murobahah yang praktekkan oleh Bank-bank Islam.
b. Bai’ al-Wadhi’ah. (menurunkan harga)
Gambarannya : Saya membeli suatu barang dengan harga 1000 dan saya menjualnya ketika saya butuh, dengan harga 800.
c. Bai’ at-Tauliyyah (kembali modal).
Gambarannya : Saya membeli satu barang dengan harga 1000 dan kemudian saya menjualnya dengan harga 1000.
 Maka dinamakan amanah karena jual beli tersebut dibangun diatas amanah orang yang berbicara. Maka Bai’ al-Murobahah dengan gambaran diatas tidak ada perselisihan diantara para ulama tentang bolehnya, kecuali sekedar perselisihan yang ringan disisi sebagian Ulama yang menyatakan Karohah (makruh/dibenci). Namun sebenarnya tidak ada sisi untuk menghukuminya makruh.

        kalau memang aqod murobahah dibolehkan oleh sebagian besar ulama lalu mengapa kita tadi menyebutkan bahwa kebanyakan perbankan syariah sekarang bermasalah?hal ini dikarenakan transaksi yang dilakukan oleh perbankan syariah saat ini tidak seperti yang kami sebutkan barusan tetapi mereka itu ber muamalah seperti contoh kasus diatas dan seperti yang akan kami sebutkan berikut ini :
1. Model yang pertama : Seseorang yang butuh untuk membeli, datang kepada sebuah Bank, lalu mengatakan : Saya ingin membeli sebuah mobil Xen.. (misalnya) yang dijual di Dialer si fulan, dengan harga 100 juta, kemudian perwakilan bank tersebut menulis akad jual beli antara dia dengan orang yang hendak membeli, perwakilan Bank ini mengatakan : Saya akan jual kepadamu mobil tersebut dengan harga 110 juta untuk jangka waktu 2 tahun. Maka perwakilan Bank tersebut menjual mobil tersebut sebelum dia memilikinya. Kemudian perwakilan tersebut akan memberikan kepada orang yang ingin membeli itu uang seharga mobil dengan mengatakan : Pergilah dan belilah mobil tersebut. Dan perwakilan tersebut tetap dikantornya, tidak pergi ke pemilik showroom (dealer) mobil.
Hukum model pertama ini :
Tidak diperselisihkan tentang tidak bolehnya model seperti ini,
Dikarenakan :
- hal itu adalah peminjaman yang menghasilkan manfaat (riba),
- dan juga menjual sesuatu yang belum dimiliki sipenjual.
2. Sama modelnya dengan yang pertama, hanya saja model kedua ini ada bentuk tambahan yaitu : Bahwa siperwakilan Bank tersebut menghubungi sipemilik dealer dan mengatakan : Mobil merek tertentu ini telah aku beli dari kamu, dan mereka mengirimkan ke dealer tersebut uang melalui sarana pengiriman modern (on line, mis.), kemudian mereka mengatakan kepada orang yang ingin membeli tadi : Pergilah anda dan ambillah barangnya, kami telah menjualnya kepada anda dengan tambahan 10 juta secara kredit.
Hukum model kedua ini adalah harom, tidak boleh,
Dikarenakan :
- siperwakilan Bank tersebut menjual sesuatu yang belum masuk dalam tanggungan/jaminan dia
- dan dia menjual barang sebelum Qabdl (dipegang /diterima).
3. Model ketiga : Sama dengan sebelumnya, hanya saja siperwakilan Bank tersebut betul-betul pergi dengan membawa uang senilai harga barang yang diinginkan oleh orang yang ingin membelinya. Kemudian perwakilan Bank tersebut membeli barang dari pemilik dealer, dan mengatakan : Berikan barang ini kepada sifulan, kemudian diapun pergi, dan dia telah menetapkan kepada orang yang hendak membeli adanya tambahan harga dan telah ditetapkan akad sebelum orang yang ingin membeli tersebut keluar dari Bank.
Hukum model ketiga ini adalah diharomkan
Dikarenakan : pihak perwakilan Bank tersebut menjual barang yang belum dia miliki, sementara akad dia sebenarnya adalah dia menjual uang dengan uang bersama adanya barang diantara mereka, seakan-seakan orang yang ingin membeli itu mengatakan : Pinjamkan kepadaku 100 juta karena saya akan pergi untuk membeli barang A (misalnya). Maka si perwakilan bank itu menjawab : Saya tidak akan meminjamkan untuk kamu, namun saya akan mengambil barang itu dan saya akan jual kepada kamu. Maka seakan-akan dia meminjaminya 100 juta dengan pengembalian 110 juta.(inilah hakekat jual beli uang dengan uang) dan telah disebutkan dari Ibnu ‘Abbas t ucapan beliau : ((penukaran Dirham dengan dirham sementara makanan adalah perantara))
4. Model ke empat : modelnya sama dengan sebelumnya, hanya saja si Perwakilan Bank pergi kepemilik dealer dan mengatakan : kami telah membeli barang ini dari kamu, akan tetapi simpan saja barang ini sebagai barang titipan di sisimu. Kemudian si perwakilan Bank ini pergi kepada orang yang ingin membeli, dan dia katakan : pergilah kamu kepadanya terimalah barang itu, kami telah membelinya.
Hukum model ke-empat ini :
Sebagian ulama’ Ahlus Sunnah membolehkan model ini dikarenakan dia telah menjadikannya sebagai barang titipan.
Yang benar adalah terlarang , karena Nabi saw. melarang untuk menjual barang sampai para pedagang itu membawanya ke tempat mereka, dan Beliau melarang dari sesuatu yang belum dipegang tangan (menerima). Maka apabila si Perwakilan Bank tersebut membeli mobil, dia harus mengeluarkannya ke tempat yang tidak ada lagi kepemilikan dan kekuasaan si penjual tersebut.
5. Model ke-lima : Orang yang ingin membeli datang ke sebuah Bank, dan dia menginginkan suatu barang. Maka pihak Bank berkata : kami akan memenuhinya untukmu. Dan bisa saja keduanya bersepakat atas adanya keuntungan terlebih dahulu, kemudian si perwakilan itu pergi ke dealer dan dia membawa barang tersebut ke lokasi bank, kemudian terjadilah akad jual beli, dalam keadaan bank itu sungguh telah memiliki barang tersebut dan tidak menjualnya kecuali setelah dia memilikinya dan qobdl (dia telah terima), maka bagaimana hukumnya ?
Hukum model ke-lima ini adalah :
Apabila jual beli tersebut dalam bentuk keharusan maka hal itu adalah termasuk jual beli barang yang belum ada pada dia dan jual beli barang yang belum masuk dalam tanggungan dia. Sebagaimana yang telah lalu (yaitu tidak boleh) (karena akad telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum adanya barang,pent).
Adapun apabila tidak terjadi keharusan membeli, maka hukumnya diperselisihkan :
a) Jumhur berpendapat bolehnya , dengan alasan bahwa dalam akad ini tidak ada keharusan untuk menyempurnakan akad atau harus mengganti rugi kalau barangnya rusak, bahkan barang tersebut masih tanggungan bank, dan bank tidak mengetahui apakah orang yang akan datang itu akan membelinya ataukah tidak. sehingga pihak bank siap menanggung resiko dengan membeli barang tersebut, kemudian pihak bank tersebut jika telah datang barang itu, ia memiliki hak untuk menjualnya kepada selain orang yang ingin membeli barang tersebut, sebagaimana pula orang yang ingin membeli barang tadi juga berhak untuk tidak jadi membeli, maka tidak ada dalam model ini menjual barang yang belum diqobdl oleh penjual atau barang yang yang tidak dimilikinya, maka hukumnya boleh.

Lalu bagaimana pendapat para ulama mengenai hal tersebut?mari kita simak pendapat mereka!

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pada tanggal 16/6/1402 H bertepatan 10/4/1982 ditanya dengan nash berikut :
“Apabila seorang nasabah Bank Islamy berhasrat untuk membeli barang seharga 1.000 Riyal Saudi lalu ia memperlihatkan dan mensifatkannya (barang tersebut) kepadanya (bank tersebut,-pent.) dan berjanji untuk membelinya darinya secara keuntungan dengan kredit selama satu tahun dengan keuntungan sekadar 100 Riyal Saudi sehingga menjadilah total harganya 1.100 Riyal Saudi. Hal tersebut setelah Bank membelinya (barang tersebut) dari pemiliknya tanpa ada keharusan pada nasabah untuk menunaikan janjinya tersebut maupun tertulis. Bagaimana pendapat anda tentang mu’amalah ini ?”
Maka beliau menjawab : “Kalau kenyataannya seperti yang disebut dalam pertanyaan maka tidak haraj (dosa, ganjalan) dalam mu’amalah tersebut apabila barang telah tetap dalam kepemilikan Bank Islamy dan ia telah mengambilnya dari kepemilikan penjual (hal ini,-pent) berdasarkan dalil-dalil syari’at. Mudah-mudahan Allah memberi Taufiq kepada semuanya”. (Dari kitab Bai’ul Murabah karya Al-Asyqor hal. 52 melalui perantara Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah)
Dan Syaikh Sholih Al-Fauzan ditanya dengan pertanyaan berikut :
“Seseorang datang kepadaku dan ia berkata saya butuh sejumlah uang dan ia meminta kepadaku agar saya pergi bersamanya kesuatu tempat supaya saya membelikan untuknya mobil kemudian ia akan menjualnya dan mengambil harganya dengan (ketentuan) ia akan melunasinya kepadaku dengan taqsith (cicilan) bulanan. Saya tidak punya tempat penjualan mobil tapi siapa yang datang kepadaku menginginkan uang untuk ia pakai nikah atau membangun rumah maka saya pun pergi bersamanya  ke suatu tempat penjualan mobil dan saya belikan untuknya mobil dengan harga 40 ribu Riyal –misalnya- dan ia menjualnya dengan (harga) 38 ribu Riyal dan saya mencatat (kewajiban) atasnya senilai 55 ribu riyal atau 60 ribu riyal dengan (ketentuan) ia membayarnya dalam bentuk taqsith bulanan ?”.
Maka beliau menjawab : “Hukum pada seperti mu’amalah ini adalah apabila tidak terdapat dari engkau akad bersamanya sebelum pembelian mobil bahkan terdapat janji (saja) -misalnya- atau terdapat saling paham dan belum ada akad kemudian engkau pergi dan membeli mobil lalu engkau jual kepadanya setelah engkau beli dan engkau pegang maka tidak haraj (dosa, ganjalan) pada hal itu adapun kalau penjualanmu kepadanya sudah terjadi sebelum engkau membeli mobil lalu engkau pergi dan membeli mobil itu maka ini tidaklah boleh berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alahi wa sallam kepada Hakim bin Hizam “Jangan kamu jual apa yang tidak ada disisimu (padamu)”…….” (Al-Muntaqa: 4/136/no. 140)
Dan dalam keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy no. 40, 41 point pertama -sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam 4/377 (cet. Kelima)- disebutkan bahwa: “Sesungguhnya jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian apabila terjadi pada barang setelah masuk kedalam kekuasaan orang yang dimintai (pihak kedua,-pent.) dan setelah terdapat kepemilikan yang diinginkan secara syari’at maka ia adalah jual beli yang boleh sepanjang terbebankan atas orang yang dimintai (pihak kedua) tanggung jawab kerusakan sebelum penyerahan dan rentetan pengembalian karena aib yang tersembunyi dan semisalnya dari hal-hal yang mengharuskan pengembalian setelah penyerahan dan telah terpenuhi syarat-syarat jual beli dan telah tiada penghalang-penghalangnya”.
Di pihak lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berpendapat tentang haramnya jual beli keuntungan bagi peminta transaksi. Dalam kitab Asy-Syarh Al-Mumti’ 8/224, beliau menyatakan : “Dan dari masalah-masalah (baca : bentuk-bentuk) Al-‘Inah atau dari hilah (tipu daya) untuk riba adalah apa yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini, (yaitu) tatkala ia butuh mobil kemudian ia pergi kepada seorang pedagang dan berkata saya butuh mobil begini di tempat penjualan mobil begini maka pergilah si pedagang lalu membeli mobil dari tempat penjualan mobil itu dengan suatu harga kemudian ia menjualnya dengan yang lebih banyak dari harganya kepada orang yang butuh mobil sampai ke suatu waktu (secara kredit,-pent.) maka ini adalah hilah yang sangat jelas untuk melakukan riba…”. Dan semisal dengan itu keterangan beliau dalam ketika menjawab pertanyaan no. 501 dalam silsilah Liqo`ul Maftuh.

      Dari uraian di atas maka bisa kita lihat bahwa Dari kalangan ulama’ sekarang yang memperbolehkan adalah :
Al Imam Ibnu Baz, Syaikh Al Fauzan , Al Lajnah Ad Daaimah, dan kebanyakan dari para ulama’. Bahkan sebagian mereka berkata tidak ada masalah dalam hal bolehnya.
Sementara Asy Syaikh Al Albani dan Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengharomkan model ini. Dan diketahui hal tersebut merupakan pendapat Asy Syaikh Al Albani karena beliau mengarahkan kepada pembahasan Abdurrohman Abdul Kholiq khususnya dalam masalah ini dia menguatkan tentang haromnya model tersebut dan Syaikh Al Albani tidak memberikan komentar atasnya, dan kesimpulan pembahasan Ibnu Abdil Kholiq adalah bahwa hal itu merupakan hilah (tipu muslihat) dari pinjaman yang menghasilkan manfaat
 
Tarjih Dan Kesimpulan:

Sebenarnya penamaan masalah ini dengan nama jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah penamaan yang baru muncul pada abad belakangan ini, namun hakikatnya sudah terbahas di kalangan para Imam fiqih terdahulu. Karena itu sebahagian penulis dalam masalah ini menukil bolehnya jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian sebagai pendapat dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Karena itu pembolehan jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah yang paling kuat dalam masalah ini tapi dengan beberapa ketentuan yang bisa disimpulkan berdasarkan pembahasan diatas; yaitu :
1.    Tidak ada keharusan bagi pihak pertama kepada pihak kedua untuk membeli barang tersebut darinya (pihak kedua).
2.    Tanggung jawab rusaknya barang atau mengembalikannya bila ada kekurangan atau cacat ditanggung oleh pihak kedua.
3.    Akad transaksi bersama pihak pertama bila barang telah dimiliki dan dipegang oleh pihak kedua.
Baca : Taudhihul Ahkam 4/377-378, Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh oleh Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, Buhuts Li Ba’dh An-Nawazil Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashiroh dan Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah.

Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=554#more-554
 

Minggu, 12 Februari 2012



HUKUM JUAL BELI DENGAN SISTEM KREDIT


       Jual beli merupakan salah satu bentuk Muamalah dalam kehidupan kita.Dalam agama islam jual beli mendapat pembahasan tersendiri oleh para ulama ahli fiqih karena mencakup banyak hal yang terkait dengan jual beli terlebih adalah bab boleh tidaknya sebuah transaksi jual beli.Berbicara masalah jual beli kali ini akan kami bahas sebuah trend masa kini dalam bertransaksi jual beli yaitu membeli sesuatu dengan cara cicilan atau kredit yang dalam bahasa arab dikenal dengan bai' at taqsiith.Dengan cara ini orang merasa terbantu dari sisi ekonomi karena dengan dana yang terbatas orang bisa mendapatkan barang yang mereka inginkan sementara sisa uangnya bisa untuk kebutuhan yang lain meskipun ketika kita kalkulasi dari awal sampai akhir cicilan harga barang menjadi jauh lebih mahal ketika dibandingkan dengan membeli dengan cash atau kontan.Namun hal ini tidak mendapat banyak perhatian,yang penting tanpa terasa keinginan tercapai.inilah yang membuat orang terbuai dengan rayuan dan tipuan "KREDIT" ini.Kembali kepada persoalan tadi bolehkah kita sebagai orang islam melakukan transaksi jual beli dengan sistem ini?????

     Para Ulama ahli fiqih berselisih faham mengenai hal ini namun dari sekian banyak pendapat berikut akan kami kutipkan pendapat dari 2 ulama besar yang insyaalloh semoga bisa menjawab tuntas persoalan di atas,

    Jual beli dengan sistem kredit (cicilan), yang ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis: 

Jenis pertama, kredit dengan bunga. Ini hukumnya haram dan tidak ada keraguan dalam hal keharamannya, karena jelas-jelas mengandung riba. 

Jenis kedua, kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dengan Bai’ At Taqsiith. Sistem jual beli dengan Bai’ At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama, di antaranya: 
  • As-Syaikh Nashirudin Al Albani


Dalam kitab As-Shahihah jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang “Jual Beli dengan Kredit”, beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal, red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.


As Syaikh Al Albani menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi).


Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630, Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631, Ats Tsauri dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththaabi dalam Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul Hadits.


Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya  bersabda: Rasulullah 

“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”


Misalnya seseorang menjual dengan harga kontan Rp 100.000,00, dan kredit dengan harga Rp 120.000,00. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,00. Jika tidak, maka ia telah melakukan riba.


Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.

  •  As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Waadi’i

Dalam kitabnya Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli seperti ini.


Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.


Namun beliau menganggap lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah  bersabda:

“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”


Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits no.369. 



Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al Albani:

 

“Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka, sebagaimana sabda  yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari : Rasulullah  bersabda:


“Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…”


Dan kalau seandainya salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit dengan harga yang sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya, sebagaimana firman Allah:


… Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq: 2-3)


Demikian nasehat dari As-Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan, kami nasehatkan kepada kaum Muslimin, hendaknya memilih cara kontan jika menghadapi sistem jual beli semacam ini. 


Wallahu a’lamu bisshawaab.